Masalah kesehatan mental anak hingga remaja adalah hal penting untuk disadari oleh kita sebagai orang tua. Menurut National Institutes of Health, Hampir satu dari setiap tiga remaja di Amerika Serikat akan menderita gangguan kecemasan. Dan sebuah studi tahun 2020 yang diterbitkan oleh Canadian Journal of Psychiatry baru-baru ini mengkonfirmasi bahwa depresi dan kecemasan remaja dapat dikaitkan dengan penggunaan media sosial.
Ada banyak hal yang patut dicemaskan oleh orang tua dan anak-anak, dan dapat dimengerti bahwa orang tua ingin menyelamatkan anak-anak kita dari situasi yang memicu kecemasan. Sejujurnya, kita tidak hanya ingin melindungi anak-anak kita dari perasaan cemas tapi kita juga tak tega melihat anak-anak kita cemas.
Namun muncul sebuah paradoks. Alih-alih orang tua mendorong anak-anaknya untuk meraih prestasi akademik dan olahraga, tetapi orang tua juga ingin anak mereka terhindar dari pemicu stres normal dalam kehidupan.
Kita semua pasti merasakan kecemasan. Namun ada perbedaan besar antara merasa cemas dan gangguan kecemasan. Perasaan cemas berfungsi sebagai sistem peringatan dini biologis dan itu hal normal. Di sisi lain, gangguan kecemasan tidak memperingatkan atau melindungi kita. Gangguan kecemasan mengganggu proses pembelajaran, adaptasi, kesehatan mentak dan fisik kita.
Tantangan bagi orang tua adalah untuk mengetahui perbedaan antara kecemasan normal anak-anak kita dan gangguan kecemasan, serta bagaimana kaitan keduanya.
Ketika kita berulang kali mengganggu pengalaman normal anak-anak kita dengan dalih untuk melindungi mereka dari perasaan negatif, hal itu meningkatkan kecemasan anak dan kita sebagai orang tua. Kita menjadi lebih gelisah dan begitu sangat waspada pada anak-anak, dan anak-anak kita tidak diberi ruang dan kesempatan untuk mengembangkan keberanian dan kepercayaan diri mereka. Dengan begitu keterampilan yang dibutuhkan untuk beradaptasi terhadap perubahan dunia yang berubah dengan cepat atau mengatasi masalah kompleks yang anak-anak hadapi tidak berkembang.
Pada akhirnya, apa yang akan anak-anak dapatkan adalah gangguan kecemasan. Itu merupakan hasil akhir dari ditolaknya kesempatan untuk belajar dari pengalaman (ini itu tidak boleh) dan melihat diri mereka sebagai orang yang tangguh dan mampu melakukan sesuatu.
Apa yang harus orang tua lakukan?
Kita dapat menahan diri dan bersabar terhadap kesedihan dan masalah yang dihadapi oleh anak. Kita perlu membangun kepercayaan diri pada anak-anak kita dengan menunjukkan kepada mereka bahwa kita percaya pada kemampuan mereka untuk menghadapi masalah dan tantangan mereka sendiri. Kita dapat mengatakan pada anak: “Ayah/Ibu yakin, kamu pasti bisa lakukan/hadapi” saat mereka menangani masalah sedikit menantang. Menunjukkan kepercayaan diri kita pada anak-anak kita mendorong perkembangan kepercayaan diri mereka.
Di sisi lain, kita harus waspada terhadap sumber kecemasan kronis, contohnya: terlalu banyak PR sekolah, terlalu banyak penekanan untuk meraih nilai bagus disekolah atau dituntut masuk kampus/jurusan tertentu. Itu semua adalah momen di mana kita sebagai orang tua dapat melakukan intervensi dengan perspektif atau pengalaman orang dewasa yang pada akhirnya mungkin berubah menjadi gangguan kecemasan.
Naah, di era milenial ini, banyak hal yang berkualitas sangat dibutuhkan anak-anak kita untuk berkembang di masa depan. Antara lain, sifat-sifat seperti kemampuan beradaptasi, rasa ingin tahu, kreativitas, dan optimisme. Sifat-sifat tersebut ditanamkan ketika anak-anak belajar untuk mentolerir kecemasan normal, mempercayai naluri mereka, dan mengambil risiko. Kita, para orang tua, harus lebih dulu belajar hidup dengan kecemasan kita sendiri tentang masa depan mereka. Yang terpenting, pembelajaran yang paling baik untuk anak-anak adalah dari teladan/contoh yang kita lakukan sebagai orang tua.
sumber:
https://www.nbcnews.com/think/opinion/parents-stop-worrying-about-your-kids-anxiety-they-need-some-ncna1137266
https://www.nimh.nih.gov/health/statistics/any-anxiety-disorder.shtml#part_155096